“Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak merugikannya orang yang menghina dan menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat dan mereka berada dalam keadaan demikian” [Mutafaqun Alaihi]

MUNAFIK DI SETIAP MASA

[1]- Yang perlu -bahkan harus- diperhatikan: bahwa ketika Allah menyebutkan sifat-sifat orang munafik dalam Al-Qur’an; bukan berarti hal itu khusus bagi orang-orang munafik yang ada pada zaman Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Ini adalah suatu bentuk penyempitan dalam memahami Al-Qur’an; yang menjadikan banyak orang terhalang untuk mentadabburi Al-Qur’an.

[Lihat pembahasan: “Penghalang Tadabbur & Berdalil”, di:
http://ahmadhendrix.blogspot.co.id/…/42-penghalang-tadabbur…]

[2]- Seperti firman Allah tentang orang-orang munafik:

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan apabila engkau melihat mereka; tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata; engkau mendengarkan tutur katanya. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan ditujukan pada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?” (Al-Munafiqun: 4)

[3]- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Mereka (sebagian ahli tafsir) berkata bahwa yang di maksud dalam ayat ini adalah ‘Abdullah bun Ubayy (bin Salul); karena dia termasuk manusia yang paling bagus badannya.

Akan tetapi yang benar adalah: bahwa lafazh di atas umum berlaku bagi setiap orang yang bersifat dengan sifat-sifat ini; yaitu: badan yang sehat dan sempurna serta perkataan yang bagus; akan tetapi kosong dari ruh keimanan, dan kosong dari kecintaan kepada petunjuk, serta tidak mendahulukkaanya (atas yang lainnya). Seperti kayu yang di potong dan disandarkan yang kosong dari ruh kehidupan; sehingga tidak bisa tumbuh berkembang, dan tidak bisa menghasilkan buah. Dan sifat mereka yang penakut dan lemah; sehingga menyangka bahwa setiap teriakan ditujukan pada mereka.”

[“Ash-Shawaa-‘iqul Mursalah” (II/702), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]

[4]- Dan pensifatan dengan “kayu yang tersandar” berfaedah bahwa: mereka tidak bermanfaat sama sekali. Karena kayu; apabila digunakan untuk atap, tembok, atau yang lainnya; adalah bermanfaat. Sedangkan; kalau hanya disandarkan; maka apa manfaatnya?!

[Lihat: I’laamul Muwaqqi’iin (hlm.130-cet. Daar Thayyibah)]

[5]- Silahkan lihat penjelasan beliau juga tentang sifat-sifat orang Munafik di:

http://ahmadhendrix.blogspot.co.id/…/g-al-munaafiquun-orang…

Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (37) لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (38)

(37) Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (38) (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS An-Nuur: 37-38)

Ringkasan Tafsir

Laki-laki” Pada ayat ini disebut hanya laki-laki, karena merekalah yang memakmurkan masjid. Para wanita tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.

Yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah”, Allah mengkhususkan perniagaan di dalam ayat ini, karena perniagaanlah yang paling banyak melalaikan manusia dari mengerjakan shalat dan ketaatan, sehingga mereka tidak mendatangi masjid untuk mendirikan shalat di dalamnya.

Dan (dari) mendirikan shalat,” maksudnya dari mengerjakan shalat pada waktunya secara berjamaah.

Dan (dari) membayarkan zakat,” Apabila datang waktu membayar zakat, mereka membayarnya dan tidak menahannya.

Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” Hal ini terjadi di hari kiamat. Hati dan penglihatan mereka menjadi goncang, karena hati mereka bergoncang antara ketakutan, pengharapan, dan kecemasan akan kebinasaan diri mereka, dan karena pandangan mereka menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah akan dimasukkan ke dalam golongan kanan ataukah golongan kiri, atau apakah mereka akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kirinya.

Supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” berupa zikir kepada Allah, mengerjakan shalat dan membayar zakat, dibalas sesuai dengan amal-amal shaalih yang telah mereka kerjakan. Adapun keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan tidak dibalas oleh Allah.

Dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka,” yang sebenarnya mereka tidak berhak mendapatkannya jika ditimbang dengan apa yang telah mereka lakukan.1

Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas,” Allah memberikannya balasan yang lebih tanpa perhitungan dan tanpa takaran. Ini adalah ungkapan yang menunjukkan bahwa balasan tersebut sangat banyak.2

Penjabaran Ayat

Firman Allah ta’aalaa:

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat.”

Setelah Allah menyebutkan pada ayat sebelumnya tentang rumah-rumah Allah yang disyariatkan berzikir di dalamnya di waktu pagi dan petang, maka Allah menyebutkan sifat-sifat kaum lelaki dari kalangan sahabat yang mereka tidak terlalaikan dari berzikir kepada Allah dan menghadiri shalat lima waktu di masjid pada waktunya, meskipun mereka bekerja sebagai pedagang.

Allah subhaanahu wa ta’aalaa menyuruh orang-orang yang beriman agar tidak lalai dengan semua urusan dunia.

Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ }

Hai orang-orang beriman! Janganlah harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah! Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS Al-Munaafiquun: 9)

Allah ta’aalaa juga berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ }

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu’ah: 9)

Imam Ibnu Katsiir rahimahullaah menjelaskan tentang ayat yang kita bahas ini, “Allah ta’aalaa mengabarkan bahwa orang-orang yang disebutkan pada ayat tersebut tidak disibukkan dengan dunia serta keindahan dan kelezatannya dari mengingat Allah. Mereka mengetahui bahwa apa yang berada di sisi Allah lebih baik untuk mereka dan lebih bermanfaat daripada apa yang mereka apa yang di sisi Allah akan kekal. Oleh karena itu, mereka lebih mengedepankan ketaatan dan kecintaan kepada Allah daripada kecintaan terhadap diri mereka sendiri.”3 Imam Al-Bukhari rahimahullaah mengatakan, “Qataadah berkata, ‘Dulu suatu kaum berjual beli dan berniaga, tetapi jika hak di antara hak-hak Allah menghampiri mereka, maka perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka untuk berzikir kepada Allah, mereka memenuhi hak tersebut kepada Allah.”4

Keharusan Shalat Berjamaah di Masjid Bagi Laki-Laki

Di antara hak-hak Allah adalah memenuhi panggilan adzan yang dikumandangkan oleh muadzdzin. Para lelaki harus mengerjakan shalat wajib berjamaah di masjid. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.

Barang siapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ada uzur.”5

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ

Saya telah benar-benar berniat menyuruh untuk dikerjakan shalat dan didirikan shalat tersebut, kemudian saya pergi ke rumah-rumah kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah), kemudian saya bakar rumah-rumah mereka6

Imam At-Tirmidzi rahimahullaah mengatakan:

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا عَلَى التَّغْلِيظِ وَالتَّشْدِيدِ وَلاَ رُخْصَةَ لأَحَدٍ فِى تَرْكِ الْجَمَاعَةِ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.

“Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa ini adalah bentuk ancaman berat dan keras, serta tidak ada keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat berjamaah, kecuali dia memiliki uzur.”7 Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa shalat lima waktu harus dikerjakan oleh laki-laki di masjid, kecuali ada uzur. Dan uzur-uzur seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaah tercantum di buku-buku fiqh.

Adapun para wanita, mereka mengerjakan shalat fardhu di rumah. Ini lebih afdhal bagi mereka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا

Shalat seorang wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat-nya di ruang tamunya. Shalat-nya di dalam ruang yang tertutup lebih baik daripada shalat-nya di dalam rumahnya.”8 Meskipun demikian, wanita boleh shalat berjamaah di masjid jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.

Ancaman Untuk Para Pedagang

Pedagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan. Oleh karena itu, jika dia tidak mencari sebab-sebab yang dapat meningkatkan ketakwaannya, maka dia akan menjadi lalai dari berzikir kepada Allah, dia akan terjatuh kepada hal-hal yang sia-sia dan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan dosa, seperti: dusta, khianat, sumpah palsu, penipuan dan lain-lain.

Para pedagang akan mendapatkan banyak ujian ketika berdagang. Jika dia tidak memiliki benteng yang kuat, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa. Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan ancaman kepada mereka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ.) قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: (بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ ، وَيَحْلِفُونَ ، وَيَأْثَمُونَ.)

Sesungguhnya para pedagang adalah orang yang fajir (pelaku maksiat).” Beliau pun ditanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan jual beli?” Beliau berkata, “Ya, tetapi mereka berbicara kemudian berdusta, dan mereka bersumpah dan berdosa.”9

Begitu pula sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ التُّجَّارَ يُحْشَرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلا مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ .

Sesungguhnya para pedagang akan dikumpulkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir. Kecuali orang yang bertakwa, berbuat kebajikan dan jujur.”10

Contoh Bentuk Ketaatan Para Salaf Ketika Mereka Berdagang

Para sahabat radhiallaahu ‘anhum adalah orang yang sangat bertakwa kepada Allah. Allah subhaanahu wa ta’aalaa memilih mereka untuk menjadi sahabat-sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allah dan dari mengerjakan shalat lima waktu di masjid.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallaahu ‘anhuma bahwasanya beliau menafsirkan ayat “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” dengan “dari mengerjakan shalat yang diwajibkan”.11

Mereka tidaklah mengerjakan shalat lima waktu kecuali di masjid, kecuali mereka memiliki uzur. Sangat banyak nukilan-nukilan/atsar-atsar di buku-buku tafsir menyebutkan hal tersebut12. Di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Mathar bin Thahmaan Al-Warraaq rahimahullaah(wafat 125 H), beliau mengatakan:

أَمَا إِنَّهُمْ قَدْ كَانُوْا يَشْتَرُوْنَ وَيَبِيْعُوْنَ، وَلَكِنْ كَانَ أحَدُهُمْ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ وَمِيْزَانُه فِيْ يَدِهِ خَفَضَهُ وَأقْبَلَ إِلَى الصَّلاَة .

“Adapun mereka (para sahabat), dulu mereka membeli dan menjual. Akan tetapi, jika seorang di antara mereka mendengar adzan sedangkan timbangannya berada di tangannya, maka dia turunkan timbangan tersebut dan memenuhi panggilan shalat.”13

Sahabat Yang Sengaja Berdagang

Pujian Allah pada ayat ini sangatlah besar kepada para lelaki yang tidak dilalaikan dengan urusan dunia. Oleh karena itu, di antara sahabat ada yang sengaja bekerja sebagai pedagang agar mendapatkan keutamaan yang disebutkan pada ayat ini. Di antaranya adalah sahabat yang bernama Abu Dardaa’ radhiallaahu ‘anhu. Beliau mengatakan:

إِنِّيْ قُمْتُ عَلَى هَذَا الدَّرَجِ أُبَايِعُ عَلَيْه، أَرْبَحُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثَمِائَةَ دِيْنَارٍ، أَشْهَدُ الصَّلَاةَ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ فِيْ الْمَسْجِدِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُوْلُ: “إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِحَلَالٍ” وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الَّذِيْنَ قَالَ اللهُ: { رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ }.

Sesungguhnya saya berdiri di jalan ini untuk berjualan, saya mendapatkan keuntungan tiga ratus dinar sehari, saya shalat setiap hari di masjid. Saya tidak mengatakan bahwa harta tersebut tidak halal, tetapi saya ingin menjadi orang yang termasuk di dalam firman Allah: ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.’.”14

Cara Menghilangkan Hal-Hal Yang Sia-Sia Ketika Berjual Beli

Jual beli, sebagaimana yang telah penulis katakan, dipenuhi dengan banyak ujian, dosa dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, seorang mukmin harus memikirkan bagaimana cara menghapuskan dosa-dosa di dalam perdagangannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan arahan dalam hal ini. Beliau menyuruh para pedagang untuk banyak bersedekah.

Beliau bersabda:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Wahai para pedagang! Sesungguhnya hal-hal yang sia-sia dan sumpah menghadiri jual beli. Oleh karena itu, bersihkanlah hal tersebut dengan bersedekah.”15

Firman Allah ta’aalaa:

يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”

Mengapa mereka takut dengan hal tersebut? Karena hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal yang menakutkan dan sangat menegangkan. Mereka memikirkan akan keselamatan diri mereka dari pembalasan Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Apakah Allah akan membalas seluruh amal keburukan dan dosa yang pernah mereka lakukan ataukah Allah akan mengampuninya.

Allah subhaanahu wa ta’aalaa juga berfirman:

{ وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ }

Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.” (QS Ghaafir: 18)

Begitu pula firman Allah ta’aalaa:

{ وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ }

Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS Ibraahiim: 42)

Begitu pula firman Allah ta’aalaa:

{ وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا }

(8) Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (9) Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (10) Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (11) Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (12) Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka, (dengan) surga dan (pakaian) sutera. (QS Al-Insaan: 8-12)

Di antara bentuk ketakutan yang luar biasa dialami oleh ‘Abdullaah bin Mas’uud radhiallaahu ‘anhu dan para muridnya rahimahumullaah. Murid beliau yang bernama ‘Alqamah rahimahullaah berkata:

أُتِيَ عَبْدُ اللهِ بِشَرَابٍ، فَقَالَ: نَاوِلْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: إِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: نَاوِلِ الأَسْوَدَ، قَالَ: إِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: نَاوِلْ فُلاَنًا، قَالَ: إِنِّي صَائِمٌ، فَكُلُّهُمْ يَقُولُ: إِنِّي صَائِمٌ، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: فَإِنِّي لَسْتُ بِصَائِمٍ، فَأَخَذَ فَشَرِبَ ، ثُمَّ قَالَ: {يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأَبْصَارُ}.

Dulu ‘Abdullah (bin Mas’ud) diberikan suatu minuman. Beliau pun berkata, “Berikanlah kepada ‘Alqamah!” Dia mengatakan, “Saya sedang berpuasa.” Beliau pun berkata, “Berikanlah kepada Al-Aswad!” Dia mengatakan, “Saya sedang berpuasa.” Seluruh yang ada di sana mengatakan, “Saya sedang berpuasa.” Kemudian berkatalah ‘Abdullah (bin Mas’ud), “Seseungguhnya saya tidak berpuasa.” Kemudian beliau mengambilnya dan meminumnya. Beliau pun membaca ayat: “mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”16 ‘Abdullaah bin Mas’uud radhiallaahu ‘anhu menyebutkan ayat ini karena beliau mengetahui bahwa para muridnya berpuasa karena mereka takut dengan hari akhir. Mereka lebih memilih untuk tidak berbuka puasa, karena mengharapkan ganjarannya dan agar diringankan perhitungannya di hari kiamat.

Firman Allah ta’aalaa:

لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا

(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,

Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjanjikan untuk menerima amalan-amalan shaalih mereka dan membalasnya dengan balasan yang baik, serta Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.

Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا}

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An-Nisaa’: 40)

Allah subhaanahu wa ta’aalaa juga berfirman:

{ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ }

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (QS Al-An’aam: 160)

Allah subhaanahu wa ta’aalaa juga berfirman:

{ مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً }

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS Al-Baqarah: 245)

Firman Allah ta’aalaa:

وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Ketika menyebutkan ayat:

{لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ}

“Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya.”17 ‘Abdullaah bin Mas’uud radhiallaahu ‘anhu menafsirkan “pahala mereka” dengan “memasukkannya ke dalam surga”, dan “dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya” ditafsirkan dengan “memberikannya (hak untuk memberikan) syafaat kepada orang-orang yang berhak mendapatkan syafaat untuk orang-orang yang pernah berbuat kebaikan kepada mereka di dunia.”18

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Meskipun berdagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan, sudah sepantasnya seorang mukmin tidak terlalaikan dengannya. Dia harus ingat kepada Allah dan tidak lupa untuk memenuhi hak-hak Allah.

  2. Para sahabat adalah panutan yang baik. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allah dan menghadiri shalat berjamaah pada waktunya.

  3. Para pedagang harus memiliki benteng ketakwaan dan keimanan yang kuat, jika tidak, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa dan dibangkitkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir (pelaku maksiat).

  4. Hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan sangat menegangkan.

  5. Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjanjikan untuk menerima amalan-amalan shaalih dari orang-orang yang tidak lalai mengingat-Nya dan membalasnya dengan balasan yang baik dan berlipat ganda, serta Allah akan mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allah subhaanahu wa ta’aalaa menerima dan melipatgandakan amalan-amalan shaalih yang kita lakukan serta menghapuskan seluruh dosa-dosa kita dan tidak mencatat kita sebagai orang yang lalai. Aamiin.

***

Daftar Pustaka
  1. Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam

  2. Al-Jaami’ Li Ahkaamil-Qur’aan. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.

  3. Jaami’ul-bayaan fii ta’wiilil-Qur’aan. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.

  4. Ma’aalimut-tanziil. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.

  5. Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Ismaa’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.

  6. Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.

  7. Tafsiir Ibni Abii Haatim. Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Haatim Ar-Raazi. Shiidaa: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah.

  8. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

Catatan kaki

1 Lihat Tafsiir Al-Baghawi VI/51.

2 Lihat Tafsiir As-Sa’di hal. 569.

3 Lihat Tafsiir Ibni Katsiir VI/68.

4 Dicantumkan Imam Al-Bukhari di dalam Shahiih-nya sebelum hadiits no. 2060.

5 HR Ibnu Majah no. 793. Syaikh Al-Albani menyatakan shahiih dalam Al-Irwaa’ (II/337).

6 HR Al-Bukhari no. 2420.

7 Catatan beliau terhadap hadits no. 217 dalam Sunan At-Tirmidzi.

8 HR Abu Dawud no. 570. Syaikh Al-Albani menyatakan shahiih dalam Shahiih Sunan Abi Dawud.

9 HR Ahmad no. 15530. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk menyatakan, “Hadits ini shahiih, sanadnya kuat.”

10 HR Ath-Thahaawi dalam Syarh Musykil Al-Aatsaar X/331 no. 2083 dan At-Thabraani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir no. 4411 dari Rifaa’ah dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab VI/484 no. 4507 dari Al-Baraa’ bin ‘Aazib. Syaikh Al-Albani menyatakan shahiih dalam Ash-Shahiihah no. 994 dan 1458.

11 Tafsiir Ath-Thabari IXX/193, no. 26358.

12 Sengaja penulis hanya menukil satu perkataan saja, karena atsar-atsar yang terdapat di buku-buku tafsir tersebut yang berbicara tentang ayat, setelah penulis teliti, ternyata hampir seluruhnya lemah.

13 Tafsiir Ibnu Abi Haatim VIII/2608, no. 14653.

14 Tafsiir Ibni Abi Haatim VIII/2607, no. 14648.

15 HR Abu Dawud no. 3328, An-Nasai no. 4463 dan Ibnu Majah no. 2145. Syaikh Al-Albani menyatakan shahiih dalam Shahiih Sunan Ibni Majah.

16 HR An-Nasaai dalam Al-Kubra, Isnaad-nya shahiih.

17 QS Faathir: 30.

18 HR At-Thabraani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir no. 10310.

Penulis: Ustadz Sa’id Yai Ardiansyah, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/24542-menjadi-pedagang-yang-tidak-lalai.html

Itsar itu apa? Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam urusan dunia walau kita pun sebenarnya butuh.

Secara bahasa itsar bermakna mendahulukan, mengutamakan. Sedangkan secara istilah, yang dimaksud itsar adalah mendahulukan yang lain dari diri sendiri dalam urusan duniawiyah berharap pahala akhirat. Itsar ini dilakukan atas dasar yakin, kuatnya mahabbah (cinta) dan sabar dalam kesulitan.

Contohnya dapat dilihat pada orang Muhajirin dan Anshar dalam ayat,

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).

Yang dimaksudkan ayat ini adalah ia mendahulukan mereka yang butuh dari kebutuhannya sendiri padahal dirinya juga sebenarnya butuh. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:229.

Dalam masalah dunia, kita bisa mendahulukan orang lain, itu memang yang lebih baik. Karena dalam masalah dunia, kita harus memperhatikan orang di bawah kita agar kita bise mensyukuri nikmat Allah.

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan penampilan, maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari, no. 6490 dan Muslim, no. 2963)

Dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al-Khats’ami, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang paling afdal. Jawab beliau,

جَهْدُ الْمُقِلِّ

Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. An-Nasa’i, no. 2526. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

 

Kisah Itsar #01: Menyambut Tamu, Padahal Hanya Punya Makanan untuk Bayi

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ

Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali air”.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru, “Saya.”

فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي

Lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Istrinya menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.”

فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا

Orang Anshar itu berkata, “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya.

ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ

Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar.

فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malam ini Allah tertawa atau takjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9). (HR Bukhari, no. 3798). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan nama orang Anshar yang melayani tamu tersebut adalah Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu. Istri Abu Thalhah adalah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha (Rumaysho atau Rumaisha).

 

Kisah Itsar #02: Abu Bakar Bersedekah dengan Seluruh Harta

Sifat ini juga dimiliki oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ia pernah bersedekah dengan seluruh hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya kepadanya,

« مَا أَبْقَيْتَ لأَهْلِكَ ». قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ. قُلْتُ لاَ أُسَابِقُكَ إِلَى شَىْءٍ أَبَدًا

“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku titipkan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Umar bin Khattab lantas mengatakan, “Itulah mengapa aku tidak bisa mengalahkanmu selamanya.” Sebelumnya Umar bersedekah dengan separuh hartanya dan menyisakan separuhnya untuk keluarganya. (HR. Abu Daud, no. 1678 dan Tirmidzi, no. 3675. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

Kisah Itsar #03: Abu Thalhah Bersedekah dengan Kebun Kurma Terbaik

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia sukai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.”

Anas berkata, “Ketika turun ayat,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh! Itulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara.

 

Pelajaran dari hadits:

  • Keutamaan menafkahi dan memberi sedekah kepada kerabat, istri, anak, dan orang tua walau mereka musyrik. Sebagaimana Imam Nawawi membuat judul bab untuk hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim.
  • Kerabat harusnya lebih diperhatikan dalam silaturahim. Abu Thalhah akhirnya memberikan kebunnya kepada Ubay bin Ka’ab dan Hassan bin Tsabit.
  • Bersedekah kepada kerabat punya dua pahala yaitu pahala menjalin hubungan kerabat dan pahala sedekah.

 

Kisah Itsar #04: Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari Membagi Harta dan Istrinya pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari. Ketika itu Sa’ad Al-Anshari memiliki dua orang istri dan memang ia terkenal sangat kaya. Lantas ia menawarkan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk berbagi dalam istri dan harta. Artinya, istri Sa’ad yang disukai oleh ‘Abdurrahman akan diceraikan lalu diserahkan kepada ‘Abdurrahman setelah ‘iddahnya. ‘Abdurrahman ketika itu menjawab,

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِى أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، دُلُّونِى عَلَى السُّوقِ

“Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Cukuplah tunjukkan kepadaku di manakah pasar.”

Lantas ditunjukkanlah kepada ‘Abdurrahman pasar lalu ia berdagang hingga ia mendapat untung yang banyak karena berdagang keju dan samin. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat pada ‘Abdurrahman ada bekas warna kuning pada pakaiannya (bekas wewangian dari wanita yang biasa dipakai ketika pernikahan, pen.). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Apa yang terjadi padamu wahai ‘Abdurrahman?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, saya telah menikahi seorang wanita Anshar.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Berapa mahar yang engkau berikan kepadanya?” ‘Abdurrahman menjawab, “Aku memberinya mahar emas sebesar sebuah kurma (sekitar lima dirham).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika itu,

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Lakukanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari, no. 2049, 3937 dan Muslim, no. 1427. Lihat Syarh Shahih Muslim, 7:193)

 

Pelajaran dari hadits:

  • Boleh seorang imam bertanya tentang keadaan jamaahnya yang sudah lama tak terlihat.
  • Boleh seorang wanita memakai wewangian untuk suaminya, bahkan dianjurkan untuk tampil wangi di hadapan suami, lebih-lebih lagi di malam pertamanya.
  • Tidak masalah jika ada bekas wewangian istri ada pada baju suami kalau memang tidak disengaja walau yang terkena sebenarnya adalah syi’ar khas para wanita. Namun asalnya tetap tidak boleh laki-laki tasyabbuh (menyerupai) wanita.
  • Disunnahkan mendoakan berkah. Contoh, doa kepada pengantin.

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberikan ucapan selamat pada seseorang yang telah menikah, beliau mendoakan,

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ

Semoga Allah memberkahimu ketika bahagia dan ketika susah dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Daud, no. 2130; Tirmidzi, no. 1091. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

  • Yang dimaksud walimah adalah makanan yang disajikan ketika resepsi nikah. Walimah itu berarti berkumpul karena ketika itu kedua pasangan telah menyatu menjadi suami-istri.
  • Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum walimah. Ada yang mengatakan wajib dan ada yang sunnah. Menurut ulama Syafi’iyah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah, hukum walimah adalah sunnah mustahab. Kata perintah dalam hadits ini dipahami sunnah (anjuran).
  • Sebagian ulama menyatakan bahwa walimah itu diadakan sesudah dukhul (jima’ atau malam pertama) seperti pendapat Imam Malik dan selainnya. Sedangkan sekelompok ulama Malikiyah menyatakan bahwa walimah diadakan ketika akad itu berlangsung.
  • Bagi orang yang mudah mengadakan walimah, maka tetaplah mengadakan walimah jangan sampai kurang dari seekor kambing. Namun untuk acara walimah tadi tidak ada batasan tertentu, bentuk makanan apa pun yang dibuat untuk walimah tetap dibolehkan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shafiyyah, walimahnya tidak dengan daging. Ketika menikahi Zainab disediakan untuk walimah dengan roti dan daging. Yang tepat, semuanya disesuaikan dengan kemampuan pengantin.
  • Pelajaran dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari adalah saling mendahulukan yang lain (itsar). Lihatlah sikap Sa’ad yang sampai mendahulukan ‘Abdurrahman dalam hal harta dan dua istrinya.
  • ‘Abdurrahman mengajarkan pada kita tidak bergantung pada pemberian orang lain yang didapat secara gratis. Mendapatkan hasil dari bekerja walau dengan berdagang itu lebih baik.
  • Hendaknya mendoakan kebaikan kepada siapa saja yang ingin berbuat baik kepada kita.

 

Bagaimana kita bisa itsar?

  1. Memperhatikan kewajiban, anggap selalu kurang ketika melakukan yang wajib sehingga kehati-hatiannya ia mendahulukan orang lain walau ia pun butuh.
  2. Meredam sifat pelit.
  3. Semangat punya akhlak yang mulia karena itsar adalah tingkatan akhlak yang paling mulia. Sampai-sampai Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Diin menyatakan bahwa itsar adalah tingkatan dermawan (as-sakha’) yang paling tinggi. (Nudhrah An-Na’im fii Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim, 3:630, 639)

Faedah dari Itsar

  1. Menunjukkan iman yang sempurna dan kebagusan Islam seseorang.
  2. Ini adalah jalan mudah untuk menggapai ridha dan cinta Allah.
  3. Akan timbul rasa cinta dan sayang antar sesama manusia.
  4. Menunjukkan begitu dermawannya seseorang karena sampai ia butuh pun dikorbankan.
  5. Punya sifat husnuzhan yang tinggi kepada Allah.
  6. Menunjukkan amalan yang baik di penghujungnya (husnul khatimah).
  7. Menunjukkan seseorang memiliki semangat yang tinggi dan terjauhkan dari sifat tercela.
  8. Itsar membuahkan keberkahan.
  9. Itsar memudahkan seseorang masuk surga dan terbebas dari neraka.
  10. Itsar mengantarkan kepada keberuntungan (falah) karena telah mengalahkan sifat pelit (syuhh).

 

Referensi:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan Pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Nudhrah An-Na’im fi Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim. Dikumpulkan oleh para ahli dengan pembimbingan: Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid (Imam dan Khatib Al-Haram Al-Makki). Penerbit Dar Al-Wasilah. 3:629-640.

Penulis

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Pertama: Menyembunyikan Amalan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.”[1] Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.

Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan popularitas.”

Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.”

Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.”

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”

Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”

Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”[2]

:: Contoh para salaf dalam menyembunyikan amalan mereka ::

Pertama: Menyembunyikan amalan shalat sunnah

Ar Robi bin Khutsaim –murid ‘Abdullah bin Mas’ud- tidak  pernah mengerjakan shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.[3]

Kedua: Menyembunyikan amalan shalat malam

Ayub As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia pura-pura mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu. [4]

Ketiga: Bersedekah secara sembunyi-sembunyi.

Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.[5] Permisalan sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena kedekatan dan  kebersamaan kedua tangan tersebut.[6]

Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan,

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ

Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.[7]

Keempat: Menyembunyikan amalan puasa sunnah.

Dalam rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan,

إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً

“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.”[8]

Daud bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang, termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari, sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya.[9] Jadi orang-orang di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan orang-orang yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar. Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.

Begitu pula para ulama seringkali membatalkan puasa sunnahnya karena khawatir orang-orang mengetahui kalau ia puasa. Jika Ibrohim bin Ad-ham diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.[10] Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.

Kelima: Menyembunyikan bacaan Al Qur’an dan dzikir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ

Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.[11]

Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.”

Yang dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai-sampai menutupi mushafnya agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’ bin Khutsaim selalu melakukan amalan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ada orang yang akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia pun akan menutupi Qur’annya dengan bajunya.[12] Begitu pula halnya dengan Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca Qur’an, lalu ada yang masuk menemuinya, ia pun segera menyembunyikan Qur’annya.[13] Mereka melakukan ini semua agar amalan sholihnya tidak terlihat oleh orang lain.

Keenam: Menyembunyikan tangisan

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Tangisan itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian biasanya untuk selain Allah (tidak  ikhlas) dan satu bagian saja yang biasa untuk Allah. Jika ada satu tangisan saja dilakukan dalam sekali setahun (ikhlas) karena Allah, maka itu pun masih banyak.”[14]

Dalam rangka menyembunyikan tangisnya, seorang ulama sampai pura-pura mengatakan bahwa dirinya sedang pilek karena takut terjerumus dalam riya’. Itulah yang dicontohkan oleh Ayub As Sikhtiyaniy. Ia pura-pura mengusap wajahnya, lalu ia katakan, “Aku mungkin sedang pilek berat.” Tetapi sebenarnya ia tidak pilek, namun ia hanya ingin menyembunyikan tangisannya.[15]

Sampai-sampai salaf pun ada yang pura-pura tersenyum ketika ingin mengeluarkan tangisannya. Tatkala Abu As Sa-ib ingin menangis ketika mendengar bacaan Al Qur’an atau hadits, ia pun pura-pura menyembunyikan tangisannya (di hadapan orang lain) dengan sambil tersenyum.[16]

Mu’awiyah bin Qurroh mengatakan, “Tangisan dalam hati lebih baik daripada tangisan air mata.”[17]

Ketujuh: Menyembunyikan do’a

‘Uqbah bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan. Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.”[18]

Amalan-amalan apa saja yang mesti disembunyikan? [19]

Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah-, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama dengan ditampakkan.[20]

Namun kadang amalan sholih juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah, misalnya agar memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin memberikan pengajaran kepada orang lain.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”

Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh atau uswah bagi orang lain adalah amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu wa salaam.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21) Yang semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para Khulafaur Rosyidin, pewaris Nabi yaitu ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah (teladan).

Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan  (pada Allah) ada tiga:

Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.

Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.

Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)

Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaan sebagai berikut.

Pertama: Dia bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya.

Kedua: Dia adalah orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan –seperti amalan sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah bagi orang lain. Dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.”

Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan surat pada shalat malam (shalat tahajud). Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan bacaan dan terkadang melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah shalat ketika bersama Abu Bakr beliau memelankan suaranya dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakr untuk mengeraskan suara dan memerintahkan ‘Umar untuk melirihkan suaranya.[21]

An Nawawi mengatakan, “Terdapat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan suara ketika membaca al Qur’an dan juga terdapat hadits yang menjelaskan keutamaan melirihkan bacaan. Dari sini, para ulama menjelaskan bahwa kompromi dari hadits-hadits tersebut yaitu: melirihkan bacaan jadi lebih utama pada orang yang khawatir tertimpa riya’. Jika tidak khawatir demikian, maka bacaannya boleh dikeraskan asalkan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau tidur.”[22]

Bagaimana dengan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan? Apakah boleh ditampakkan?

Setelah kita mengetahui dari penjelasan di atas, untuk amalan ketaatan diberi keringanan dalam beberapa kondisi untuk ditampakkan semisal untuk amalan wajib dan amalan sunnah (dalam beberapa keadaan). Sedangkan untuk maksiat sudah sepatutnya untuk disembunyikan.

Menyembunyikan dosa dan tidak menampakkan aib-aibnya pada manusia, itu malah terpuji dilihat dari beberapa sebab.

Pertama: Kita diperintahkan untuk menutup maksiat yang kita lakukan dan tidak perlu membuka kejelekan-kejelekan diri kita. Disebutkan dalam hadits,

اِجْتَنِبُوْا هَذِهِ القَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا ، فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ

Jauhilah dosa yang telah Allah larang. Siapa saja yang telah terlajur melakukan dosa  tersebut, maka tutuplah rapat-rapat dengan apa yang telah Allah tutupi.[23]

Juga jika kita tidak suka dengan maksiat, maka kita pun hendaklah tidak suka orang lain mengetahuinya atau sampai melakukan hal yang sama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.[24] Kebalikannya (mafhumnya) adalah jika engkau tidak suka sesuatu pada dirimu, maka engkau haruslah tidak suka hal itu menimpa saudaramu. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman dalam hadits ini, maka menunjukkan bahwa hal tersebut wajib dilakukan[25]. Sehingga menutup dosa dan maksiat adalah wajib.

Kedua: Agar jangan sampai ‘aib tersebut terbuka dan terkoyak di hadapan orang lain. Karena jika seseorang sudah merasa takut ‘aibnya terbuka di dunia, maka niscaya ‘aib tersebut sampai di akhirat akan terus tertutup. Oleh karena itu, orang-orang sholih seringkali berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana engkau menutupi ‘aib-‘aibku di dunia, maka janganlah buka ‘aib-‘aibku di akhirat.”

Ketiga:Agar orang lain tidak ikut-ikutan melakukan maksiat yang telah dilakukan dan agar maksiat tersebut tidak tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya ‘aib atau maksiat ditutupi sampai pula pada orang terdekat kita (misalnya kerabat dan orang tua).

Keempat: Agar kita lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah dan tidak termasuk orang-orang yang dicela dan tidak diterimanya taubatnya karena memamerkan maksiat yang ia lakukan.

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[26]

Kelima: Agar ia termasuk orang-orang yang memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang akan menghalangi dirinya menampakkan maksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ

Rasa malu tidaklah datang kecuali membawa kebaikan.[27]

Keenam: Agar ia tidak mendapat ejekan atau celaan dari manusia. Karena celaan biasanya akan menusuk ke hati. Sedangkan hukuman had hanya akan menyakiti anggota badan.

Demikian pembahasan tanda ikhlas yang pertama.

Hanya Allah yang memberi taufik untuk berbuat ikhlas.

Semoga Allah memudahkan kita untuk membaca posting lanjutan dari pembahasan tanda ikhlas yaitu tidak mencari ketenaran dan merasa diri selalu kurang dalam beramal.


[1] HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash.

[2] Lihat Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy,hal. 230-232,Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H.

[3] Az Zuhud, Imam Ahmad, 5/60, Mawqi’ Jami’ Al Hadits.

[4] Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ash-bahaniy, 3/8, Darul Kutub Al ‘Arobiy, Beirut.

[5] HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no.1031,dari Abu Hurairah.

[6] Syarh Muslim, 3/481.

[7] Lihat Hilyatul Auliya’, 3/135-136.

[8] Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya tanpa sanad (secara mu’allaq).

[9] Lihat Shifatus Shofwah, Ibnul Jauziy, 3/300, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1399 H.

[10] Lihat Ta’thirul Anfas,hal. 246

[11] HR. Abu Daud no. 1333 dan At Tirmidzi no. 2919, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhaniy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[12] Lihat Hilyatul Awliya’, 2/107, Darul Kutub ‘Arobiy, cetakan keempat, 1405 H.

[13] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 246.

[14] Hilyatul Awliya’, 7/11.

[15] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 248.

[16] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 251.

[17] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252.

[18] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 253.

[19] Diringkas dari Ta’thirul Anfas, hal. 263-267.

[20] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/481, Mawqi’ Al Islam.

[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/410-411, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[22] Dinukil dari footnote Faidul Qodir, Al Munawi, 3/354, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir, cetakan pertama, tahun 1356 H.

[23] HR. Al Hakim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim.

[24] HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45, dari Anas bin Malik.

[25] Faedah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al Iman.

[26] HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.

[27] HR. Bukhari no. 6117  dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.

sumber: rumaysho

Sabar Itu Akan Selalu Indah

sabar
Kehidupan manusia di dunia ini tidak akan terlepas dari dua hal, yaitu nikmat dan musibah. Begitu banyaknya nikmat yang diberikan oleh Allah, namun terkadang datang musibah yang berupa kesusahan dan kesedihan dan kedua hal ini (nikmat dan musibah) membutuhkan kesabaran dalam menerima dan menyikapinya. Sabar merupakah salah satu pilar kebahagiaan bagi seseorang yang akan memberikan ketenangan dan ketentraman di dalam jiwa manusia.

Pengertian Sabar

Syaikh Salīm ibn ‘Īd al-Hilālī dalam kitabnya, dalam bab ‘aṣ-Ṣabru al-Jamīl’ mendefinisikan sabar dalam tiga perkara. Pertama, sabar adalah memelihara (menetapkan) jiwa pada ketaatan kepada Allah dan selalu menjaganya, dan memeliharanya dengan keikhlasan serta memperbaikinya atau memperbagus dengan ilmu. Kedua, sabar adalah menahan jiwa dari maksiat dan keteguhannya dalam menghadapi syahwat dan perlawanannya terhadap hawa nafsu. Ketiga, sabar adalah keridhaan kepada qada’ dan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa mengeluh di dalamnya dan keputusasaan.

Sabar dalam Ketaatan Kepada Allah

Jalan menuju Allah adalah jalan yang penuh dengan rintangan. Sedangkan jiwa itu tidak dapat istiqamah di atas perintah Allah dengan mudah. Maka barang siapa yang ingin menundukkan dan mengekangnya maka di harus bersabar.

Sabar dalam ketaatan kepada Allah meliputi tiga hal, yaitu,

  1. Sabar sebelum melakukan ketaatan tersebut, yaitu dengan niat yang benar, ikhlas dan bersih dari riya’.
  2. Sabar ketika menjalankan ketaatan, yaitu dengan tidak lalai dalam melakukannya dan juga tidak bermalas-malasan.
  3. Sabar setelah beramal, seseorang tersebut hendaknya tidak menjadi ta’jub dengan dirinya dan menampakkan apa yang ia punya dalam rangka sum’ah dan riya`. Karena hal tersebut hanya akan menghapus amalan, pahala dan pengaruh-pengaruh yang seharusnya dia dapatkan. (Naḥwu Akhlāqi as-Salāfi : 105)

Sabar dalam ketaatan kepada Allah diantaranya adalah sabar dalam menuntut ilmu, sabar dalam mengamalkan dan sabar dalam mendakwahkannya. Tiga hal ini tercakup ke dalam firman Allah ta’ālā, (yang artinya) : ‘Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran’ (Q.S al-‘Asr: 1-3). Dalam surat tersebut Allah menyatakan bahwa seluruh manusia itu berada dalam kerugian, kecuali manusia-manusia yang disifati dengan empat sifat,

  1. Beriman kepada perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah. Keimanan ini tidak akan terwujud dengan tanpa adanya ilmu.
  2. Beramal shalih, mencakup seluruh amal kebaikan, dhahir maupun batin, berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun hak-hak seorang hamba, ataukah itu amalan wajib atau sunnah.
  3. Saling menasehati dalam kebenaran (iman dan amal shalih), saling menasehati dalam keimanan kepada Allah dan beramal shalih, bersemangat kepadanya dan mencintainya.
  4. Saling menasehati untuk menetapi kesabaran. Bersabar dalam ketaatan kepada Allah, bersabar dalam menjauhi maksiat kepadaNya, dan bersabar terhadapt takdir yang telah ditetapkanNya.

Dengan kedua perkara pertama seorang hamba akan menyempurnakan dirinya, dan dengan dua perkara selanjutnya dia akan menyempurnakan orang lain. Maka ketika empat hal ini telah sempurna seorang hamba itu akan terselamatkan dari kerugian dan akan meraih kemenangan yang besar (Taisīru Karīmi ar-Raḥmāni: 1102).

Sabar Menjauhi Maksiat

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

“Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi (nafsu).”

Oleh karena itu barang siapa yang menginginkan surga, maka dia harus bersiap untuk bersabar karena surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disenangi oleh hawa nafsu. Terkadang seseorang itu merasa bersabar menjuhi maksiat itu lebih berat daripada bersabar menjalankan ketaatan. Mungkin seseorang bisa bersabar melaksanakan shalat malam semalam suntuk, namun dia tidak bisa bersabar jika diminta meninggalkan perkara-perkara yang disenanginya yang tidak diperbolehkan oleh syari’at.

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau yang sangat agung, menyusun bab khusus mengenai sabar terhadap takdir, yaitu bab ‘minal īmāni billāhi aṣ-ṣabru ‘alā aqdārillāhi’ (salah satu ciri (bagian) dari keimanan kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah).

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikhhafizhahullahuta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allahjalla wa ‘alauntuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdirNya. (artikel muslim.or.id ‘Hakikat Sabar 1’)

Sabar adalah pedang yang tidak akan tumpul, tunggangan yang tidak akan tergelincir dan cahaya yang tidak akan padam. Akan tetapi sabar tidaklah semudah ketika kita mengucapkannya. Jika tidak, Allah tidak akan memberikan pahala yang besar untuk orang-orang yang bersabar, seperti dalam firmanNya, yang artinya “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hambaKu yang beriman, bertakwalah kepada Rabb-mu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S az-Zumār:10). Allah tidak akan memberikan kecintaan dan ma’iayyahNya (kebersamaanNya) seperti dalam firmanNya, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S al-Baqarah : 153), “. . . Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S ali-‘Imran :146). Allah memberikan kebersamaan yang bersifat khusus kepada orang-orang yang bersabar, dan Allah akan menghilangkan kesusahan darinya dan akan memudahkan setiap kebaikan bagi orang-orang yang bersabar. Akan tetapi sabar tidak bisa kita lakukan dengan mudah, kita memerlukan pertolongan dari Allah.

Betapa perkara ini merupakan perkara yang tidak mudah karena hidup ini pada hakikatnya adalah untuk bersabar. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita untuk bisa bersabar di setiap perkara yang kita hadapi. Baik itu dalam ketaatan kita kepada Allah dan menjauhi maksiat kepadaNya, juga dalam menetapi taqdirNya yang tidak pernah kita dapat mengira dan menyangkanya. Allāhu a’lam.

***

Muslimah.or.id
Penulis: Ummu Ahmad Rinautami Ardi Putri
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Rujukan:

  • Naḥwu Akhlāqi as-Salāfi, Syaikh Salīm ibn ‘Īd al-Hilālī
  • Taisīru Karīmi ar-Raḥmāni, Syaikh Abdur-rahmān ibn Nāṣir as-Sa‘dīy
  • Artikel muslim.or.id ‘Hakikat Sabar 1’, Abu Mushlih Ari Wahyudi

Tag Cloud